Rabu, 19 November 2014

Keenan

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgyEEa6HGBenrNGDxZaS5nZ7-PAPHDADtLOU0EBHyXyzRqbin6xkeV5yiXgTPtM9AtGJD94GB-EeUOYAdH-WqQnBS06F-82oH2MT_lVnGDupvjNINxPSY_keJneGb-yzOGfefT2lh0AKQ8/s1600/dusk.jpg 


Akhir-akhir ini, tidak, lebih tepatnya beberapa jam yang lalu, pikiranku terhenti dengan pertanyaan “Dimana Keenanku?”.

Iya, dimana kamu sekarang? Begitu susahnya kah kamu mencariku? Atau aku yang belum menemukanmu? Atau kita sudah bertemu tapi tidak merasakan getaran yang sama?. Ratusan pertanyaan tentang kamu sedang menyita ruang di benakku.

Kamu, aku tak pernah sekalipun berfikir untuk menemukanmu. Tapi, kata-kata ibuku hari ini sungguh memporak porandakan pikiranku. .Paling tidak, walau hanya sekali biarkanlah aku bertemu denganmu. Aku hanya ingin tau, bagaimana paras Keenanku. Setelah itu, aku serahkan semua diriku kepada ombak kehidupan. Kubiarkan ia mengombang- ambing hidupku.

Entah apa yang aku rasakan, apa karna film yang dibumbui kisah romantic, atau karna khayalanku terlalu membumbung tinggi, atau karna impianku yang terlalu besar?. Hati ini masih saja membisu.

Hati ini pernah berbicara, kala itu, sekitar enam tahun yang lalu. Ia bercerita kepadaku. Ia pernah menemukan hati lain untuk mengikat janji. Ia buta akan cinta, ia buta akan belaian tangannya, ia buta kata manisnya. Ia menjadi orang bodoh. Orang bodoh yang menganggap caci maki dan amarah adalah wujud dari kasih sayang. Orang bodoh yang memujanya melebihi Tuhannya. Dan orang bodoh yang tega mendurhakai orang tuanya. Tanpa disadari hati ini berubah menjadi hati yang pekat. Hati ini perih, ia luka. Disayat-sayat oleh hati pendusta itu.

Seketika aku menjadi orang bodoh.

Aku tak tau berapa lama luka itu sembuh, tapi sungguh bekasnya masih bisa kurasakan. Goresan tajam yang terukir di hati ini, sungguh aku tak ingin kejadian itu terulang kembali.

Dua tahun yang lalu hati ini kembali mencoba berdiri. Ia biarkan angin menuntunnya. Hingga hal yang tak terduga pun terjadi. Ia bisa berjalan, dengan ditopang oleh hati baru seorang pujangga. Manis, sungguh terasa manis kala itu. Tapi hati ini menjadi sangat hati hati di setiap langkahnya. Karna ia takut, goresan-goresan lain akan menambah lukanya. Hati ini ingin berlari bersama hati baru periang ini. Tetapi hati baru ini sungguh masih menikmati indahnya jalanan siang itu. Hati ini tidak bisa menunggu lebih lama lagi, karna ada matahari senja di ujung jalan sana. Dan akhirnya ia lelah. Ia sangat menyayangkan waktu yang terbuang sia-sia. Karna hari sudah terlalu malam, sudah sangat terlambat untuk melihat matahari senja.

Kembali hati ini sepi dan membisu.

Seiring berjalannya waktu, aku sangat menikmati kebisuan hati ini, diam, tenang, damai, tidak ada lomba lari yang bisa membuat hati ini seakan ingin menloncat keluar dari tempatnya.

Karna aku sedang menjaga hati ini. Kubiarkan ia pulih kembali dari rasa lelah yang dideranya beberapa tahun yang lalu. Dan kulihat kini, ia sangat cantik dengan goresan tajam melekat di dirinya.

Ada hati-hati lain yang datang menyapa hati ini, tetapi hati ini terlalu sibuk merias dirinya, hingga tidak mendengar kedatangan siapapun. Ia tidak menutup pintu rumahnya, hanya saja ia amat jarang menmpersilahkan tamunya masuk ke rumah. Karna ia menjadi sangat hati-hati. Pengalaman mengajarkan ia semuanya.

“Pilihlah dia yang menyayangimu, jangan tunggu dia yang membuat jantungmu mau copot. Nanti keburu tua”
Kini, ucapan ibuku itu membuat hati ini gelisah, dimana ia harus mencari Keenannya. Apakah ia harus mencari Keenannya? Ataukah ia harus melupakan Keenan dan pasrah?

Hati ini berteriak memanggil Keenan.

Aku berharap, biarkanlah hati ini bertemu Keenannya, aku ingin merasakan ia berlari di dadaku, sehingga aku bisa tersenyum dan berkata “I LOVE YOU”


cerita ini hanya fiktif belaka, maaf bila ada kesamaan nama, tempat, atau apa lagi ya? ga tau lagi kelanjutannya apaan. 
hope you enjoy it ! :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar