Akhir-akhir
ini, tidak, lebih tepatnya beberapa jam yang lalu, pikiranku terhenti dengan
pertanyaan “Dimana Keenanku?”.
Iya,
dimana kamu sekarang? Begitu susahnya kah kamu mencariku? Atau aku yang belum
menemukanmu? Atau kita sudah bertemu tapi tidak merasakan getaran yang sama?.
Ratusan pertanyaan tentang kamu sedang menyita ruang di benakku.
Kamu,
aku tak pernah sekalipun berfikir untuk menemukanmu. Tapi, kata-kata ibuku hari
ini sungguh memporak porandakan pikiranku. .Paling tidak, walau hanya sekali
biarkanlah aku bertemu denganmu. Aku hanya ingin tau, bagaimana paras Keenanku.
Setelah itu, aku serahkan semua diriku kepada ombak kehidupan. Kubiarkan ia
mengombang- ambing hidupku.
Entah
apa yang aku rasakan, apa karna film yang dibumbui kisah romantic, atau karna
khayalanku terlalu membumbung tinggi, atau karna impianku yang terlalu besar?.
Hati ini masih saja membisu.
Hati
ini pernah berbicara, kala itu, sekitar enam tahun yang lalu. Ia bercerita
kepadaku. Ia pernah menemukan hati lain untuk mengikat janji. Ia buta akan cinta,
ia buta akan belaian tangannya, ia buta kata manisnya. Ia menjadi orang bodoh.
Orang bodoh yang menganggap caci maki dan amarah adalah wujud dari kasih
sayang. Orang bodoh yang memujanya melebihi Tuhannya. Dan orang bodoh yang tega
mendurhakai orang tuanya. Tanpa disadari hati ini berubah menjadi hati yang
pekat. Hati ini perih, ia luka. Disayat-sayat oleh hati pendusta itu.
Seketika
aku menjadi orang bodoh.
Aku
tak tau berapa lama luka itu sembuh, tapi sungguh bekasnya masih bisa
kurasakan. Goresan tajam yang terukir di hati ini, sungguh aku tak ingin
kejadian itu terulang kembali.
Dua
tahun yang lalu hati ini kembali mencoba berdiri. Ia biarkan angin menuntunnya.
Hingga hal yang tak terduga pun terjadi. Ia bisa berjalan, dengan ditopang oleh
hati baru seorang pujangga. Manis, sungguh terasa manis kala itu. Tapi hati ini
menjadi sangat hati hati di setiap langkahnya. Karna ia takut, goresan-goresan
lain akan menambah lukanya. Hati ini ingin berlari bersama hati baru periang
ini. Tetapi hati baru ini sungguh masih menikmati indahnya jalanan siang itu.
Hati ini tidak bisa menunggu lebih lama lagi, karna ada matahari senja di ujung
jalan sana. Dan akhirnya ia lelah. Ia sangat menyayangkan waktu yang terbuang
sia-sia. Karna hari sudah terlalu malam, sudah sangat terlambat untuk melihat
matahari senja.
Kembali
hati ini sepi dan membisu.
Seiring
berjalannya waktu, aku sangat menikmati kebisuan hati ini, diam, tenang, damai,
tidak ada lomba lari yang bisa membuat hati ini seakan ingin menloncat keluar
dari tempatnya.
Karna
aku sedang menjaga hati ini. Kubiarkan ia pulih kembali dari rasa lelah yang dideranya
beberapa tahun yang lalu. Dan kulihat kini, ia sangat cantik dengan goresan
tajam melekat di dirinya.
Ada
hati-hati lain yang datang menyapa hati ini, tetapi hati ini terlalu sibuk
merias dirinya, hingga tidak mendengar kedatangan siapapun. Ia tidak menutup
pintu rumahnya, hanya saja ia amat jarang menmpersilahkan tamunya masuk ke
rumah. Karna ia menjadi sangat hati-hati. Pengalaman mengajarkan ia semuanya.
“Pilihlah
dia yang menyayangimu, jangan tunggu dia yang membuat jantungmu mau copot. Nanti
keburu tua”
Kini,
ucapan ibuku itu membuat hati ini gelisah, dimana ia harus mencari Keenannya.
Apakah ia harus mencari Keenannya? Ataukah ia harus melupakan Keenan dan
pasrah?
Hati
ini berteriak memanggil Keenan.
Aku berharap,
biarkanlah hati ini bertemu Keenannya, aku ingin merasakan ia berlari di
dadaku, sehingga aku bisa tersenyum dan berkata “I LOVE YOU”
cerita ini hanya fiktif belaka, maaf bila ada kesamaan nama, tempat, atau apa lagi ya? ga tau lagi kelanjutannya apaan.
hope you enjoy it ! :)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar